Minggu, 30 Agustus 2015
Sabtu, 08 Agustus 2015
Lepet
Lepet adalah
makanan khas Cilacap yang terbuat dari beras ketan putih yang dicampur santan pada
masa pembuatannya dan dibungkus dengan janur kuning dibentuk corong yang
dililitkan ke semua bagiannya hingga berbentuk serupa dengan lontong, lalu
diikatkan dengan tali bambu atau boleh juga dengan tali rafia.
Sebagai
produk budaya yang diwariskan, tidak diketahui sejak kapan lepet disajikan
sebagai panganan wajib di Cilacap pada saat syukuran dan doa ibu hamil dengan
usia kandungan 7 bulan. Cilacap berlokasi di Jawa Tengah, tepatnya sebelah
selatan. Selain di Cilacap terdapat pula panganan khas ini di Purwokerto yang
terletak tidak jauh dari Kabupaten Cilacap.
Kemiripan
produk budaya yang ada di antara Cilacap dan Purwokerto tidak semena-mena
terjadi. Hal ini tidak bisa terlepas dari sejarah.
Janur
kuning dianggap sebagai perlindungan Tuhan Yang Maha Esa selama masa kandungan
bagi si anak yang digambarkan sebagai beras ketan. Mereka percaya bahwa untuk
mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa bagi si anak, diperlukan iman yang
digambarkan dengan tali bambu yang meliliti lepet.
Tali
bambu mengikat lepet dengan melilitkannya pada janur kuning atau wadah dari beras
ketan. Mengapa tali bambu dipilih? Karena sifatnya yang fleksibel dan tidak getas atau mudah putus. Jika dikaji
secara ilmiah, tali bambu tidak akan menimbulkan efek buruk pada kesehatan.
Akan
tetapi ada sebagian besar orang yang memilih tali rafia sebagai pelilitnya.
Padahal, jika dikaji secara ilmiah, tali rafia tidak yang mengalami proses
pemasakan berdampak buruk pada kesehatan.
Selain
karena sifatnya, tali bambu dipilih karena harapan orangtuanya supaya si anak
nantinya memiliki iman yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga dalam
kehidupannya kelak ia menjadi anak yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ukuran
bahan pembuatan lepet sendiri tidak demikian diatur sehingga timbul perbedaan
rasa dari lepet yang sudah matang. Perbedaan rasa dari lepet memunculkan mitos
bahwa jika rasa lepet keasinan yang dalam bahasa Jawa disebut kasinen, anak yang akan lahir berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan jika rasa lepet hambar atau dalam bahasa Jawa
disebut anyeb, anak yang akan lahir
berjenis kelamin perempuan. Lantas, jika rasanya tidak keasinan ataupan tidak
hambar, apakah jenis kelamin anak yang akan lahir?
Hal
ini membuat kita penasaran, apakah mitos tersebut benar karena beberapa mitos
sesuai dengan kenyataan dan sebagai umat beragama apakah beberapa kenyataan
yang sesuai mitos menjadi dasar kita untuk mempercayai kebenaran dari mitos itu
sendiri.
Sebagai
umat beragama, yang mengenal adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan satu-satunya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagaimana sebaiknya kita menanggapi keberadaan
mitos tersebut?
Jumat, 31 Juli 2015
Renumerisasi Pegawai Negeri untuk Efesiensi APBN
Kemudi tengah berada di tangan sejumlah pegawai
negeri yang sedang mengais pungli di kala gaji melambung tinggi, 7 persen
kenaikan tahun 2014. Tak cukup memperkaya diri, mereka pun meninggalkan jejak
tak terpuji bahkan terlibat jaringan teroris. Ngeri, gaji dan renumerasi yang
tinggi sedang dilimpahkan kepada pegawai negeri tidak berdikari dan tidak bisa
diteladani.
Melihat kecacatan sejumlah pegawai negeri,
pemerintah wajib memangkas jumlah pegawai negeri. Sedikit pegawai negeri yang berkompetensi
dan tidak haus pungli akan menyebabkan efisiensi alokasi APBN sebab negara
mempunyai sektor lain yang bisa mendobrak kemakmuran Indonesia, yakni
pendidikan untuk kemudian diberikan dana yang memadai.
Pengalihan alokasi APBN yang semula untuk gaji
dan renumerasi pegawai negeri kepada perbaikan mutu infrastruktur pendidikan
akan menjamin peningkatan jumlah anak negeri yang berpotensi memperkaya negeri
dalam bidangnya masing-masing sebab berkesempatan mengalami pembelajaran.
Tentu saja pemangkasan jumlah pegawai negeri
memerlukan perbaikan sistem seleksi pegawai negeri terbaik, pelokasian tempat
kerja pegawai negeri terpilih yang dekat dengan tempat tinggalnya sehingga
tidak memerlukan biaya transportasi yang besar, dan pembekalan bagi calon pegawai
negeri tidak terpilih sehingga berpotensi setidaknya menjadi wirausaha.
Tuaian Baru Indonesia?
Dalam Brushtstrokes
of a Gadfly Pops menuliskan, “Kamu tahu, mereka bilang jika kamu tidak
memilih, kamu mendapatkan pemerintahan yang sepantasnya,” Kathrine membalas
dengan, ”Jika kamu memilih, kamu tidak pernah mendapatkan hasil yang kamu
harapkan.”
Tembang kampanye yang khas berhasil menggugah
minat sebagian besar rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya hingga tibalah
9 Juli 2014, hari pesta demokrasi yang menyimpan banyak harapan bahkan mungkin
tuntutan dalam tiap surat suara.
Jelas bahwa Pemilihan Presiden atau pilpres merupakan wadah paling tepat
untuk menyadarkan rakyat akan perannya dalam pemerintahan, yakni melegalkan
kekuasaan. Keinginan tiap lapisan masyarakat cenderung berbeda, yang tentunya
baik sebagai dorongan bagi para calon presiden untuk membangun citra positif
dirinya dalam rangka menyentuh nurani rakyat agar memilih mereka. Resiko harus
ditangguh sendiri.
Berdasarkan hasil riset The Indonesian
Institute dalam ANTARA News mengenai jaminan sosial masyarakat miskin kota
menginginkan sosok presiden yang jujur, tegas, dan merakyat. Masyarakat miskin
memang memiliki daya pikat politik tidak hanya karena banyaknya jumlah di
Indonesia, melainkan juga karena dianggap mudah dipengaruhi. Nilai plus untuk menggelembungkan
suara rakyat.
Joko Widodo, presiden terpilih periode 2014
sampai 2019 sesuai quick count dan real count yang diumumkan pada 22 Juli
2014 telah dianggap jujur karena sederhananya, tegas dengan caranya, dan
merakyat karena blusukan-nya. Manis. Anggapan
demikian timbul karena pengaruh media massa, media sosial, dan lobbying dari mulut ke mulut.
Citra positif Jokowi telah terbangun walau ada
oknum yang menghasut banyak telinga untuk percaya bahwa ia hanya pencitraan. Lucunya,
Jokowi justru enggan menanggapi. Mengapa hal ini terjadi?
Menurut Ahmad Ridho, orang dewasa adalah anak
kecil yang malu untuk bersenang-senang. Jokowi pun demikian, ia malu untuk
bersenang-senang. Asumsi bergulir, mungkin saja capres ndeso itu menjaga sikapnya supaya generasi muda ikut menjaga
sikap. Salahkah?
Eleanor Roosevely pernah berkata, “Kepemimpinan
bukanlah soal gelar, jabatan, ataupun posisi melainkan suatu kehidupan yang
memengaruhi satu sama lain dalam cara yang baik dan positif.” Burukkah bila
Jokowi memimpin dengan cara yang baik dan positif?
Pencitraan politik yang positif sesungguhnya
baik karena akan membias sebagai suatu teladan. Toh, setiap orang berusaha menampilkan citra positif dalam dirinya
karena kebutuhan. Itulah mengapa Jokowi seolah woles soal pencitraan. Baginya, itu hanya hiasan perjalanan
hidupnya sebab ia telah menjadi dirinya sendiri dalam memimpin sejak tahun 2005
sebagai Walikota Surakarta, berlanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai ia
dilantik Presiden RI oleh MPR di waktu mendatang.
Untuk meluruskan, Jokowi tidak sedang
berpura-pura. Apa yang kelihatan padanya adalah apa adanya sebab ia sudah
melalui banyak tantangan dan pengalaman yang membentuk kepribadiannya. “Itu
semua karena saya pernah jadi korban gusuran,” katanya.
Menjadi korban gusuran adalah pengalaman pahit
yang dimiliki segelintir orang. Tidak semua orang yang memiliki pengalaman
pahit memilih untuk menghayatinya. Daun jambu, sepahit apapun ampuh
menyembuhkan diare. Pengalaman sepahit apapun ampuh memaniskan kepribadian,
jika seseorang menikmatinya.
Lantas, apakah jujur, tegas, dan merakyat
merupakan anti-resiko tidak pernah
mendapatkan hasil yang kamu harapkan sesuai kutipan Katherine? Garam,
sedikit saja akan menyedapkan. Pembaruan, sedikit saja akan membanggakan. Bukankah
persoalan Indonesia itu tidak terhingga dan penyebabnya tidak terhitung? Kenyataannya
banyak rakyat yang tak dikenal dan pejabat yang tak dikawal adalah dilema awal.
Duh, peliknya.
Bisa dibayangkan betapa rumitnya mewujudkan
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong
Royong jika hanya berdua, Presiden dan Wakil Presiden saja. Untuk mewujudkan
kerjasama demi pembaruan Indonesia secara menyeluruh diperlukan strategi yang
tentunya baru supaya efektif dan efisien karena deadline nan mengusik. Strategi yang baru adalah kerja nyata, bukan
diplomasi saja. Seperti kata Jokowi, “Kerja akan menghasilkan sesuatu, tetapi
omongan hanya menghasilkan alasan. Ya, Jokowi hendak mengungkap arti hidupnya
melalui kalimat tersebut.
Jika dipikir sekejap saja soal kerja, pemahaman
kita mungkin akan sampai pada tindakan tanpa tujuan. Salah. Sudah terlampau
lama manusia Indonesia terlarut anget-anget
tahi ayam dan tong kosong nyaring
bunyinya. Sementara rakyat Indonesia sudah banyak tertipu dengan
janji-janji yang belum tentu salah satunya ditepati. Alamak, menyesakkan dada.
Simak saja, dalam 24 jam kini waktu lebih
banyak dihabiskan untuk berkeluh dan bercanda. Tilik saja kabar karya yang
masih tersimpan rapi di ruang angan. Lihat saja pekerjaan rumah yang masih ditunda
pengerjaannya. “Nanti saja”. Budaya menunda, seolah hari ini bukan kesempatan
terakhir.
Tidak perlu menunda lagi, kesembilan agenda
prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA dalam Visi dan Misi Jokowi-JK yang
tersebarluas saat kampanye harus dikerjakan. Kerja cepat adalah upaya yang
harus ditempuh, bersama dengan orang-orang terbaik bangsa yang mau dan mampu
menggerakkan rakyat Indonesia.
Sebagaimana Jokowi pernah bilang, “Jangan punya
kepentingan”, saat ditanya Najwa, “Bagaimana memimpin dengan hati?”, kita
sama-sama disadarkan bahwa kepentingan adalah hal khusus yang sering
menghalangi usaha kita mengembalikan senyum Ibu Pertiwi. Kepentingan pribadi
dalam pemerintahan yang ditemukan benar cenderung menjauhkan masing-masing
pemegang amanah dari niat baik di awal. Sedangkan terlalu banyak yang belum
selesai dan makin banyak yang akan harus diselesaikan.
Padahal, tahun 2015 adalah masa emas yang tidak
seharusnya menjadi masa sulit. Komunitas ASEAN adalah pintu gerbang yang begitu
menawan. Masakan Indonesia memasukinya dengan terlunta-lunta? Lebih baik
tergopoh-gopoh dalam siaga. Gebrakan berasas demokrasi yang mengagumkan sudah
dan sedang berjalan akibat sokongan relawan yang tergabung dalam Jokowi Center.
Jokowi Center sudah menjadi duta pembangunan Indonesia.
Melalui Kabinet Alternatif Usulan Rakyat atau
disingkat dengan KAUR, dengan memanfaatkan social
media suara rakyat kembali didengarkan. Inilah inovasi demokrasi yang telah
dinanti sejak lama, bukan?
Memang tidak semua rakyat bisa mengakses online form berisi pilihan calon menteri
menurut voting yang kemudian diolah
dan dijadikan referensi dalam pembentukan kabinet tanpa syarat ala Jokowi-JK.
Akan tetapi, mereka yang bisa mengakses dan berkontribusi dalam voting dipastikan orang-orang yang cukup
peka dan kritis akan demokrasi, selain tahu teknologi. Tidak perlu cemas.
Indonesia patut menaruh kepercayaan kepada Tim
Transisi ala Jokowi-JK yang disinggung Kubu Prabowo sebagai tradisi baru. Kalau
dipikir-pikir kenapa ya harus disebut tim? Filosofis. Andrew Carnegie pernah
bilang, “Kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja bersama menuju visi bersama.
Kemampuan untuk mengarahkan prestasi individu terhadap tujuan organisasi.”
Tampaknya Joko Widodo dan Jusuf Kalla begitu
melibatkan kerja tim sejak awal kampanye. Proses adalah hal utama yang harus
diperhatikan, seindah apapun tujuan. Rakyat masih menanti hasil kerja
pilihannya dengan tangan terbuka atas resikonya.
Perempuan Penuh Siasat
Dalam
kehidupan yang masih menganut budaya patriakhal yang mana kekuasaan ada pada
laki-laki, tak melihat perempuan memiliki hak atas tubuhnya, perempuan masih
sering ditempatkan sebagai manusia yang tak sederajat dengan laki-laki, bahkan
tak mempunyai harga diri ataupun hak atas tubuhnya, apalagi kalau hal itu atas
nama kepentingan umum.
Tubuh
perempuan sebagai erotisme seksual yang dibentuk secara sosial sejak dulu
hingga sekarang adalah objek yang sangat menarik. Sebagai objek sosial, tubuh
perempuan sering dijadikan daya tarik untuk mengeruk keuntungan, khususnya
secara material. Penggunaan erotisme tubuh perempuan dapat disaksikan dalam
pagelaran seni budaya, misalnya dalam pagelaran ronggengan atau tayuban.
“Ronggeng itu bukan cuma perkara
menari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur,” kata Nyai
Kertareja.
Dukuh
Paruk membesarkan Rasus dan Srintil. Ronggeng begitu diagungkan dengan
kepercayaan magisnya sebagai warisan yang harus dilestarikan sekaligus menjadi
persembahan kepada leluhur di kampung ini.
Terlahir
sebagai ronggeng dengan kecantikan dan kemolekan, serta berperan dalam darma
bakti anak cucu kepada leluhur membuat Srintil dipuja. Bagaimanapun juga,
pandangan orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak terelakkan, Srintil dilihat
sebagai seorang pengganggu rumah tangga dan merendahkan martabat perempuan.
“.... semua orang sekampung juga
akan senang kalau ada ronggeng lagi,” kata Srintil ketika ditanya kepastian
atas keputusan menjadi Srintil oleh Rasus.
Menjadi
ronggeng juga artinya milik semua warga Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil
memutuskan menjadi ronggeng, Rasus tak merelakan itu karena membuat Srintil seperti
pohon kelapa dimana siapapun bisa memanjatnya.
Bagi
Srintil, menjadi ronggeng adalah takdirnya karena dia merasa berhutang atas
peristiwa 12 tahun lalu dimana tempe bongkrek yang dibuat orangtuanya meracuni
ronggeng yang dulu ada. Panggilan jiwanya adalah menjadi ronggeng sebagai
balasan atas “dosa” orangtuanya.
Menjadi
ronggeng adalah pilihan hidup yang Srintil tentukan walaupun dengan keterpaksaan
untuk berbakti kepada dukuhnya. Banyak hal kemudian harus dijalani sebelum
dirinya benar-benar dinobatkan sebagai ronggeng, yakni dimandikan di depan
cungkup makam Ki Secamenggala dan melalui ritus bukak klambu yang dilaksanakan pada malam Jumat Legi.
Di malam
itu, terjadi pelelangan keperawanan, sejenis sayembara bagi setiap laki-laki
yang mampu memberi sejumlah uang sebagai syaratnya. Sang pemenang yang
menikmati tubuh Srintil tentunya memiliki kebanggaan tersendiri. Di sisi lain,
Kertareja bersama istrinya yang bertindak sebagai dukun ronggeng sedang mereguk
keuntungan atas penderitaan Srintil, yakni sumpah serapah dan cercaan.
Hanya
ronggeng yang tahu siapa kepada siapa ia akan menyerahkan keperawanannya,
inilah kekuatannya. Tak seorang pun tahu kalau saat ritual “bukak klambu” Srintil sudah tidak
perawan. Itulah yang sering terjadi di masyarakat yang merasa paling tahu atas
tubuh perempuan, padahal perempuan itu sendiri yang paling tahu apa yang
terjadi dengan tubuhnya.
“Kalau cuma masalah seks, buat
saya itu hal sepele, yang terpenting adalah ronggeng tetap lestari bagi seni
rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli oleh masyarakat borjuis,”
sebagaimana dikatakan Kang Bakar.
Sebagai
ronggeng, Srintil telah melaksanakan tugas budaya yang diembannya juga sadar
bahwa ia sedang menjadi duta keperempuan, dimana tidak melihat laki-laki
menguasainya. Lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis sekalipun
lelaki memiliki kekuatan yang bersifat fisik. Kebutuhan atas pengakuan
kelelakian menjadikan perempuan hadir dengan kekuatannya.
Keperkasaan
lelaki yang menjadi berarti ketika Srintil dengan kesadarannya bertanggungjawab
menjadi media aktualisasi kelelakian merupakan gambaran bahwa lelaki itu kuat
sekaligus lemah. Setiap lelaki memiliki hak untuk mencolek, menikmati goyangan
dan pacak gulu Srintil dalam arena pentas saat menari. Maka, Srintil memiliki
hak untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Realita ini membuatnya tidak pernah
merasa menjadi pelacur kendati telah berpuluh-puluh lelaki tidur bersamanya.
“Perempuannya ronggeng,
lelakinya kuli.”
Film
garapan Ifa Isfansyah berjudul “Sang Penari” yang terinspirasi dari trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari menampilkan kisah cinta Rasus
dan Srintil yang kuat, juga memberi sentuhan kepada penontonnya mulai dari cara
pandang tradisional mengenai kehidupan ronggeng sampai kepada merasuknya
kehidupan modern secara perlahan pada warga desa Dukuh Paruk.
Srintil
adalah representasi perempuan yang mampu berbicara dalam posisi lokalitasnya,
mensiasati apapun yang menimpa dirinya sebagai perempuan sekaligus ronggeng. Ia
seorang perempuan yang lemah dan kuat di waktu yang sama sehingga sangat sulit
untuk menjelaskan dan memastikan siapa yang dieksploitasi dan siapa pula yang
mengeksploitasi.
***
Langganan:
Postingan (Atom)