Laman

Jumat, 31 Juli 2015

Perempuan Penuh Siasat


Dalam kehidupan yang masih menganut budaya patriakhal yang mana kekuasaan ada pada laki-laki, tak melihat perempuan memiliki hak atas tubuhnya, perempuan masih sering ditempatkan sebagai manusia yang tak sederajat dengan laki-laki, bahkan tak mempunyai harga diri ataupun hak atas tubuhnya, apalagi kalau hal itu atas nama kepentingan umum.
Tubuh perempuan sebagai erotisme seksual yang dibentuk secara sosial sejak dulu hingga sekarang adalah objek yang sangat menarik. Sebagai objek sosial, tubuh perempuan sering dijadikan daya tarik untuk mengeruk keuntungan, khususnya secara material. Penggunaan erotisme tubuh perempuan dapat disaksikan dalam pagelaran seni budaya, misalnya dalam pagelaran ronggengan atau tayuban.
“Ronggeng itu bukan cuma perkara menari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur,” kata Nyai Kertareja.
Dukuh Paruk membesarkan Rasus dan Srintil. Ronggeng begitu diagungkan dengan kepercayaan magisnya sebagai warisan yang harus dilestarikan sekaligus menjadi persembahan kepada leluhur di kampung ini.
Terlahir sebagai ronggeng dengan kecantikan dan kemolekan, serta berperan dalam darma bakti anak cucu kepada leluhur membuat Srintil dipuja. Bagaimanapun juga, pandangan orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak terelakkan, Srintil dilihat sebagai seorang pengganggu rumah tangga dan merendahkan martabat perempuan.
“.... semua orang sekampung juga akan senang kalau ada ronggeng lagi,” kata Srintil ketika ditanya kepastian atas keputusan menjadi Srintil oleh Rasus.
Menjadi ronggeng juga artinya milik semua warga Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil memutuskan menjadi ronggeng, Rasus tak merelakan itu karena membuat Srintil seperti pohon kelapa dimana siapapun bisa memanjatnya.
Bagi Srintil, menjadi ronggeng adalah takdirnya karena dia merasa berhutang atas peristiwa 12 tahun lalu dimana tempe bongkrek yang dibuat orangtuanya meracuni ronggeng yang dulu ada. Panggilan jiwanya adalah menjadi ronggeng sebagai balasan atas “dosa” orangtuanya.
Menjadi ronggeng adalah pilihan hidup yang Srintil tentukan walaupun dengan keterpaksaan untuk berbakti kepada dukuhnya. Banyak hal kemudian harus dijalani sebelum dirinya benar-benar dinobatkan sebagai ronggeng, yakni dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala dan melalui ritus bukak klambu yang dilaksanakan pada malam Jumat Legi.
Di malam itu, terjadi pelelangan keperawanan, sejenis sayembara bagi setiap laki-laki yang mampu memberi sejumlah uang sebagai syaratnya. Sang pemenang yang menikmati tubuh Srintil tentunya memiliki kebanggaan tersendiri. Di sisi lain, Kertareja bersama istrinya yang bertindak sebagai dukun ronggeng sedang mereguk keuntungan atas penderitaan Srintil, yakni sumpah serapah dan cercaan.
Hanya ronggeng yang tahu siapa kepada siapa ia akan menyerahkan keperawanannya, inilah kekuatannya. Tak seorang pun tahu kalau saat ritual “bukak klambu” Srintil sudah tidak perawan. Itulah yang sering terjadi di masyarakat yang merasa paling tahu atas tubuh perempuan, padahal perempuan itu sendiri yang paling tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya.
“Kalau cuma masalah seks, buat saya itu hal sepele, yang terpenting adalah ronggeng tetap lestari bagi seni rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli oleh masyarakat borjuis,” sebagaimana dikatakan Kang Bakar.
Sebagai ronggeng, Srintil telah melaksanakan tugas budaya yang diembannya juga sadar bahwa ia sedang menjadi duta keperempuan, dimana tidak melihat laki-laki menguasainya. Lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis sekalipun lelaki memiliki kekuatan yang bersifat fisik. Kebutuhan atas pengakuan kelelakian menjadikan perempuan hadir dengan kekuatannya.
Keperkasaan lelaki yang menjadi berarti ketika Srintil dengan kesadarannya bertanggungjawab menjadi media aktualisasi kelelakian merupakan gambaran bahwa lelaki itu kuat sekaligus lemah. Setiap lelaki memiliki hak untuk mencolek, menikmati goyangan dan pacak gulu Srintil dalam arena pentas saat menari. Maka, Srintil memiliki hak untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Realita ini membuatnya tidak pernah merasa menjadi pelacur kendati telah berpuluh-puluh lelaki tidur bersamanya.
“Perempuannya ronggeng, lelakinya kuli.”
Film garapan Ifa Isfansyah berjudul “Sang Penari” yang terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari menampilkan kisah cinta Rasus dan Srintil yang kuat, juga memberi sentuhan kepada penontonnya mulai dari cara pandang tradisional mengenai kehidupan ronggeng sampai kepada merasuknya kehidupan modern secara perlahan pada warga desa Dukuh Paruk.
Srintil adalah representasi perempuan yang mampu berbicara dalam posisi lokalitasnya, mensiasati apapun yang menimpa dirinya sebagai perempuan sekaligus ronggeng. Ia seorang perempuan yang lemah dan kuat di waktu yang sama sehingga sangat sulit untuk menjelaskan dan memastikan siapa yang dieksploitasi dan siapa pula yang mengeksploitasi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment :)