Dalam
kehidupan yang masih menganut budaya patriakhal yang mana kekuasaan ada pada
laki-laki, tak melihat perempuan memiliki hak atas tubuhnya, perempuan masih
sering ditempatkan sebagai manusia yang tak sederajat dengan laki-laki, bahkan
tak mempunyai harga diri ataupun hak atas tubuhnya, apalagi kalau hal itu atas
nama kepentingan umum.
Tubuh
perempuan sebagai erotisme seksual yang dibentuk secara sosial sejak dulu
hingga sekarang adalah objek yang sangat menarik. Sebagai objek sosial, tubuh
perempuan sering dijadikan daya tarik untuk mengeruk keuntungan, khususnya
secara material. Penggunaan erotisme tubuh perempuan dapat disaksikan dalam
pagelaran seni budaya, misalnya dalam pagelaran ronggengan atau tayuban.
“Ronggeng itu bukan cuma perkara
menari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur,” kata Nyai
Kertareja.
Dukuh
Paruk membesarkan Rasus dan Srintil. Ronggeng begitu diagungkan dengan
kepercayaan magisnya sebagai warisan yang harus dilestarikan sekaligus menjadi
persembahan kepada leluhur di kampung ini.
Terlahir
sebagai ronggeng dengan kecantikan dan kemolekan, serta berperan dalam darma
bakti anak cucu kepada leluhur membuat Srintil dipuja. Bagaimanapun juga,
pandangan orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak terelakkan, Srintil dilihat
sebagai seorang pengganggu rumah tangga dan merendahkan martabat perempuan.
“.... semua orang sekampung juga
akan senang kalau ada ronggeng lagi,” kata Srintil ketika ditanya kepastian
atas keputusan menjadi Srintil oleh Rasus.
Menjadi
ronggeng juga artinya milik semua warga Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil
memutuskan menjadi ronggeng, Rasus tak merelakan itu karena membuat Srintil seperti
pohon kelapa dimana siapapun bisa memanjatnya.
Bagi
Srintil, menjadi ronggeng adalah takdirnya karena dia merasa berhutang atas
peristiwa 12 tahun lalu dimana tempe bongkrek yang dibuat orangtuanya meracuni
ronggeng yang dulu ada. Panggilan jiwanya adalah menjadi ronggeng sebagai
balasan atas “dosa” orangtuanya.
Menjadi
ronggeng adalah pilihan hidup yang Srintil tentukan walaupun dengan keterpaksaan
untuk berbakti kepada dukuhnya. Banyak hal kemudian harus dijalani sebelum
dirinya benar-benar dinobatkan sebagai ronggeng, yakni dimandikan di depan
cungkup makam Ki Secamenggala dan melalui ritus bukak klambu yang dilaksanakan pada malam Jumat Legi.
Di malam
itu, terjadi pelelangan keperawanan, sejenis sayembara bagi setiap laki-laki
yang mampu memberi sejumlah uang sebagai syaratnya. Sang pemenang yang
menikmati tubuh Srintil tentunya memiliki kebanggaan tersendiri. Di sisi lain,
Kertareja bersama istrinya yang bertindak sebagai dukun ronggeng sedang mereguk
keuntungan atas penderitaan Srintil, yakni sumpah serapah dan cercaan.
Hanya
ronggeng yang tahu siapa kepada siapa ia akan menyerahkan keperawanannya,
inilah kekuatannya. Tak seorang pun tahu kalau saat ritual “bukak klambu” Srintil sudah tidak
perawan. Itulah yang sering terjadi di masyarakat yang merasa paling tahu atas
tubuh perempuan, padahal perempuan itu sendiri yang paling tahu apa yang
terjadi dengan tubuhnya.
“Kalau cuma masalah seks, buat
saya itu hal sepele, yang terpenting adalah ronggeng tetap lestari bagi seni
rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli oleh masyarakat borjuis,”
sebagaimana dikatakan Kang Bakar.
Sebagai
ronggeng, Srintil telah melaksanakan tugas budaya yang diembannya juga sadar
bahwa ia sedang menjadi duta keperempuan, dimana tidak melihat laki-laki
menguasainya. Lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis sekalipun
lelaki memiliki kekuatan yang bersifat fisik. Kebutuhan atas pengakuan
kelelakian menjadikan perempuan hadir dengan kekuatannya.
Keperkasaan
lelaki yang menjadi berarti ketika Srintil dengan kesadarannya bertanggungjawab
menjadi media aktualisasi kelelakian merupakan gambaran bahwa lelaki itu kuat
sekaligus lemah. Setiap lelaki memiliki hak untuk mencolek, menikmati goyangan
dan pacak gulu Srintil dalam arena pentas saat menari. Maka, Srintil memiliki
hak untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Realita ini membuatnya tidak pernah
merasa menjadi pelacur kendati telah berpuluh-puluh lelaki tidur bersamanya.
“Perempuannya ronggeng,
lelakinya kuli.”
Film
garapan Ifa Isfansyah berjudul “Sang Penari” yang terinspirasi dari trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari menampilkan kisah cinta Rasus
dan Srintil yang kuat, juga memberi sentuhan kepada penontonnya mulai dari cara
pandang tradisional mengenai kehidupan ronggeng sampai kepada merasuknya
kehidupan modern secara perlahan pada warga desa Dukuh Paruk.
Srintil
adalah representasi perempuan yang mampu berbicara dalam posisi lokalitasnya,
mensiasati apapun yang menimpa dirinya sebagai perempuan sekaligus ronggeng. Ia
seorang perempuan yang lemah dan kuat di waktu yang sama sehingga sangat sulit
untuk menjelaskan dan memastikan siapa yang dieksploitasi dan siapa pula yang
mengeksploitasi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment :)