Lepet adalah
makanan khas Cilacap yang terbuat dari beras ketan putih yang dicampur santan pada
masa pembuatannya dan dibungkus dengan janur kuning dibentuk corong yang
dililitkan ke semua bagiannya hingga berbentuk serupa dengan lontong, lalu
diikatkan dengan tali bambu atau boleh juga dengan tali rafia.
Sebagai
produk budaya yang diwariskan, tidak diketahui sejak kapan lepet disajikan
sebagai panganan wajib di Cilacap pada saat syukuran dan doa ibu hamil dengan
usia kandungan 7 bulan. Cilacap berlokasi di Jawa Tengah, tepatnya sebelah
selatan. Selain di Cilacap terdapat pula panganan khas ini di Purwokerto yang
terletak tidak jauh dari Kabupaten Cilacap.
Kemiripan
produk budaya yang ada di antara Cilacap dan Purwokerto tidak semena-mena
terjadi. Hal ini tidak bisa terlepas dari sejarah.
Janur
kuning dianggap sebagai perlindungan Tuhan Yang Maha Esa selama masa kandungan
bagi si anak yang digambarkan sebagai beras ketan. Mereka percaya bahwa untuk
mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa bagi si anak, diperlukan iman yang
digambarkan dengan tali bambu yang meliliti lepet.
Tali
bambu mengikat lepet dengan melilitkannya pada janur kuning atau wadah dari beras
ketan. Mengapa tali bambu dipilih? Karena sifatnya yang fleksibel dan tidak getas atau mudah putus. Jika dikaji
secara ilmiah, tali bambu tidak akan menimbulkan efek buruk pada kesehatan.
Akan
tetapi ada sebagian besar orang yang memilih tali rafia sebagai pelilitnya.
Padahal, jika dikaji secara ilmiah, tali rafia tidak yang mengalami proses
pemasakan berdampak buruk pada kesehatan.
Selain
karena sifatnya, tali bambu dipilih karena harapan orangtuanya supaya si anak
nantinya memiliki iman yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga dalam
kehidupannya kelak ia menjadi anak yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ukuran
bahan pembuatan lepet sendiri tidak demikian diatur sehingga timbul perbedaan
rasa dari lepet yang sudah matang. Perbedaan rasa dari lepet memunculkan mitos
bahwa jika rasa lepet keasinan yang dalam bahasa Jawa disebut kasinen, anak yang akan lahir berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan jika rasa lepet hambar atau dalam bahasa Jawa
disebut anyeb, anak yang akan lahir
berjenis kelamin perempuan. Lantas, jika rasanya tidak keasinan ataupan tidak
hambar, apakah jenis kelamin anak yang akan lahir?
Hal
ini membuat kita penasaran, apakah mitos tersebut benar karena beberapa mitos
sesuai dengan kenyataan dan sebagai umat beragama apakah beberapa kenyataan
yang sesuai mitos menjadi dasar kita untuk mempercayai kebenaran dari mitos itu
sendiri.
Sebagai
umat beragama, yang mengenal adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan satu-satunya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagaimana sebaiknya kita menanggapi keberadaan
mitos tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment :)