Dalam Brushtstrokes
of a Gadfly Pops menuliskan, “Kamu tahu, mereka bilang jika kamu tidak
memilih, kamu mendapatkan pemerintahan yang sepantasnya,” Kathrine membalas
dengan, ”Jika kamu memilih, kamu tidak pernah mendapatkan hasil yang kamu
harapkan.”
Tembang kampanye yang khas berhasil menggugah
minat sebagian besar rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya hingga tibalah
9 Juli 2014, hari pesta demokrasi yang menyimpan banyak harapan bahkan mungkin
tuntutan dalam tiap surat suara.
Jelas bahwa Pemilihan Presiden atau pilpres merupakan wadah paling tepat
untuk menyadarkan rakyat akan perannya dalam pemerintahan, yakni melegalkan
kekuasaan. Keinginan tiap lapisan masyarakat cenderung berbeda, yang tentunya
baik sebagai dorongan bagi para calon presiden untuk membangun citra positif
dirinya dalam rangka menyentuh nurani rakyat agar memilih mereka. Resiko harus
ditangguh sendiri.
Berdasarkan hasil riset The Indonesian
Institute dalam ANTARA News mengenai jaminan sosial masyarakat miskin kota
menginginkan sosok presiden yang jujur, tegas, dan merakyat. Masyarakat miskin
memang memiliki daya pikat politik tidak hanya karena banyaknya jumlah di
Indonesia, melainkan juga karena dianggap mudah dipengaruhi. Nilai plus untuk menggelembungkan
suara rakyat.
Joko Widodo, presiden terpilih periode 2014
sampai 2019 sesuai quick count dan real count yang diumumkan pada 22 Juli
2014 telah dianggap jujur karena sederhananya, tegas dengan caranya, dan
merakyat karena blusukan-nya. Manis. Anggapan
demikian timbul karena pengaruh media massa, media sosial, dan lobbying dari mulut ke mulut.
Citra positif Jokowi telah terbangun walau ada
oknum yang menghasut banyak telinga untuk percaya bahwa ia hanya pencitraan. Lucunya,
Jokowi justru enggan menanggapi. Mengapa hal ini terjadi?
Menurut Ahmad Ridho, orang dewasa adalah anak
kecil yang malu untuk bersenang-senang. Jokowi pun demikian, ia malu untuk
bersenang-senang. Asumsi bergulir, mungkin saja capres ndeso itu menjaga sikapnya supaya generasi muda ikut menjaga
sikap. Salahkah?
Eleanor Roosevely pernah berkata, “Kepemimpinan
bukanlah soal gelar, jabatan, ataupun posisi melainkan suatu kehidupan yang
memengaruhi satu sama lain dalam cara yang baik dan positif.” Burukkah bila
Jokowi memimpin dengan cara yang baik dan positif?
Pencitraan politik yang positif sesungguhnya
baik karena akan membias sebagai suatu teladan. Toh, setiap orang berusaha menampilkan citra positif dalam dirinya
karena kebutuhan. Itulah mengapa Jokowi seolah woles soal pencitraan. Baginya, itu hanya hiasan perjalanan
hidupnya sebab ia telah menjadi dirinya sendiri dalam memimpin sejak tahun 2005
sebagai Walikota Surakarta, berlanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai ia
dilantik Presiden RI oleh MPR di waktu mendatang.
Untuk meluruskan, Jokowi tidak sedang
berpura-pura. Apa yang kelihatan padanya adalah apa adanya sebab ia sudah
melalui banyak tantangan dan pengalaman yang membentuk kepribadiannya. “Itu
semua karena saya pernah jadi korban gusuran,” katanya.
Menjadi korban gusuran adalah pengalaman pahit
yang dimiliki segelintir orang. Tidak semua orang yang memiliki pengalaman
pahit memilih untuk menghayatinya. Daun jambu, sepahit apapun ampuh
menyembuhkan diare. Pengalaman sepahit apapun ampuh memaniskan kepribadian,
jika seseorang menikmatinya.
Lantas, apakah jujur, tegas, dan merakyat
merupakan anti-resiko tidak pernah
mendapatkan hasil yang kamu harapkan sesuai kutipan Katherine? Garam,
sedikit saja akan menyedapkan. Pembaruan, sedikit saja akan membanggakan. Bukankah
persoalan Indonesia itu tidak terhingga dan penyebabnya tidak terhitung? Kenyataannya
banyak rakyat yang tak dikenal dan pejabat yang tak dikawal adalah dilema awal.
Duh, peliknya.
Bisa dibayangkan betapa rumitnya mewujudkan
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong
Royong jika hanya berdua, Presiden dan Wakil Presiden saja. Untuk mewujudkan
kerjasama demi pembaruan Indonesia secara menyeluruh diperlukan strategi yang
tentunya baru supaya efektif dan efisien karena deadline nan mengusik. Strategi yang baru adalah kerja nyata, bukan
diplomasi saja. Seperti kata Jokowi, “Kerja akan menghasilkan sesuatu, tetapi
omongan hanya menghasilkan alasan. Ya, Jokowi hendak mengungkap arti hidupnya
melalui kalimat tersebut.
Jika dipikir sekejap saja soal kerja, pemahaman
kita mungkin akan sampai pada tindakan tanpa tujuan. Salah. Sudah terlampau
lama manusia Indonesia terlarut anget-anget
tahi ayam dan tong kosong nyaring
bunyinya. Sementara rakyat Indonesia sudah banyak tertipu dengan
janji-janji yang belum tentu salah satunya ditepati. Alamak, menyesakkan dada.
Simak saja, dalam 24 jam kini waktu lebih
banyak dihabiskan untuk berkeluh dan bercanda. Tilik saja kabar karya yang
masih tersimpan rapi di ruang angan. Lihat saja pekerjaan rumah yang masih ditunda
pengerjaannya. “Nanti saja”. Budaya menunda, seolah hari ini bukan kesempatan
terakhir.
Tidak perlu menunda lagi, kesembilan agenda
prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA dalam Visi dan Misi Jokowi-JK yang
tersebarluas saat kampanye harus dikerjakan. Kerja cepat adalah upaya yang
harus ditempuh, bersama dengan orang-orang terbaik bangsa yang mau dan mampu
menggerakkan rakyat Indonesia.
Sebagaimana Jokowi pernah bilang, “Jangan punya
kepentingan”, saat ditanya Najwa, “Bagaimana memimpin dengan hati?”, kita
sama-sama disadarkan bahwa kepentingan adalah hal khusus yang sering
menghalangi usaha kita mengembalikan senyum Ibu Pertiwi. Kepentingan pribadi
dalam pemerintahan yang ditemukan benar cenderung menjauhkan masing-masing
pemegang amanah dari niat baik di awal. Sedangkan terlalu banyak yang belum
selesai dan makin banyak yang akan harus diselesaikan.
Padahal, tahun 2015 adalah masa emas yang tidak
seharusnya menjadi masa sulit. Komunitas ASEAN adalah pintu gerbang yang begitu
menawan. Masakan Indonesia memasukinya dengan terlunta-lunta? Lebih baik
tergopoh-gopoh dalam siaga. Gebrakan berasas demokrasi yang mengagumkan sudah
dan sedang berjalan akibat sokongan relawan yang tergabung dalam Jokowi Center.
Jokowi Center sudah menjadi duta pembangunan Indonesia.
Melalui Kabinet Alternatif Usulan Rakyat atau
disingkat dengan KAUR, dengan memanfaatkan social
media suara rakyat kembali didengarkan. Inilah inovasi demokrasi yang telah
dinanti sejak lama, bukan?
Memang tidak semua rakyat bisa mengakses online form berisi pilihan calon menteri
menurut voting yang kemudian diolah
dan dijadikan referensi dalam pembentukan kabinet tanpa syarat ala Jokowi-JK.
Akan tetapi, mereka yang bisa mengakses dan berkontribusi dalam voting dipastikan orang-orang yang cukup
peka dan kritis akan demokrasi, selain tahu teknologi. Tidak perlu cemas.
Indonesia patut menaruh kepercayaan kepada Tim
Transisi ala Jokowi-JK yang disinggung Kubu Prabowo sebagai tradisi baru. Kalau
dipikir-pikir kenapa ya harus disebut tim? Filosofis. Andrew Carnegie pernah
bilang, “Kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja bersama menuju visi bersama.
Kemampuan untuk mengarahkan prestasi individu terhadap tujuan organisasi.”
Tampaknya Joko Widodo dan Jusuf Kalla begitu
melibatkan kerja tim sejak awal kampanye. Proses adalah hal utama yang harus
diperhatikan, seindah apapun tujuan. Rakyat masih menanti hasil kerja
pilihannya dengan tangan terbuka atas resikonya.