Laman

Jumat, 31 Juli 2015

Renumerisasi Pegawai Negeri untuk Efesiensi APBN

Kemudi tengah berada di tangan sejumlah pegawai negeri yang sedang mengais pungli di kala gaji melambung tinggi, 7 persen kenaikan tahun 2014. Tak cukup memperkaya diri, mereka pun meninggalkan jejak tak terpuji bahkan terlibat jaringan teroris. Ngeri, gaji dan renumerasi yang tinggi sedang dilimpahkan kepada pegawai negeri tidak berdikari dan tidak bisa diteladani.
Melihat kecacatan sejumlah pegawai negeri, pemerintah wajib memangkas jumlah pegawai negeri. Sedikit pegawai negeri yang berkompetensi dan tidak haus pungli akan menyebabkan efisiensi alokasi APBN sebab negara mempunyai sektor lain yang bisa mendobrak kemakmuran Indonesia, yakni pendidikan untuk kemudian diberikan dana yang memadai.
Pengalihan alokasi APBN yang semula untuk gaji dan renumerasi pegawai negeri kepada perbaikan mutu infrastruktur pendidikan akan menjamin peningkatan jumlah anak negeri yang berpotensi memperkaya negeri dalam bidangnya masing-masing sebab berkesempatan mengalami pembelajaran.

Tentu saja pemangkasan jumlah pegawai negeri memerlukan perbaikan sistem seleksi pegawai negeri terbaik, pelokasian tempat kerja pegawai negeri terpilih yang dekat dengan tempat tinggalnya sehingga tidak memerlukan biaya transportasi yang besar, dan pembekalan bagi calon pegawai negeri tidak terpilih sehingga berpotensi setidaknya menjadi wirausaha.

Tuaian Baru Indonesia?

Dalam Brushtstrokes of a Gadfly Pops menuliskan, “Kamu tahu, mereka bilang jika kamu tidak memilih, kamu mendapatkan pemerintahan yang sepantasnya,” Kathrine membalas dengan, ”Jika kamu memilih, kamu tidak pernah mendapatkan hasil yang kamu harapkan.”
Tembang kampanye yang khas berhasil menggugah minat sebagian besar rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya hingga tibalah 9 Juli 2014, hari pesta demokrasi yang menyimpan banyak harapan bahkan mungkin tuntutan dalam tiap surat suara.
Jelas bahwa Pemilihan Presiden atau pilpres merupakan wadah paling tepat untuk menyadarkan rakyat akan perannya dalam pemerintahan, yakni melegalkan kekuasaan. Keinginan tiap lapisan masyarakat cenderung berbeda, yang tentunya baik sebagai dorongan bagi para calon presiden untuk membangun citra positif dirinya dalam rangka menyentuh nurani rakyat agar memilih mereka. Resiko harus ditangguh sendiri.
Berdasarkan hasil riset The Indonesian Institute dalam ANTARA News mengenai jaminan sosial masyarakat miskin kota menginginkan sosok presiden yang jujur, tegas, dan merakyat. Masyarakat miskin memang memiliki daya pikat politik tidak hanya karena banyaknya jumlah di Indonesia, melainkan juga karena dianggap mudah dipengaruhi. Nilai plus untuk menggelembungkan suara rakyat.
Joko Widodo, presiden terpilih periode 2014 sampai 2019 sesuai quick count dan real count yang diumumkan pada 22 Juli 2014 telah dianggap jujur karena sederhananya, tegas dengan caranya, dan merakyat karena blusukan-nya. Manis. Anggapan demikian timbul karena pengaruh media massa, media sosial, dan lobbying dari mulut ke mulut.
Citra positif Jokowi telah terbangun walau ada oknum yang menghasut banyak telinga untuk percaya bahwa ia hanya pencitraan. Lucunya, Jokowi justru enggan menanggapi. Mengapa hal ini terjadi?
Menurut Ahmad Ridho, orang dewasa adalah anak kecil yang malu untuk bersenang-senang. Jokowi pun demikian, ia malu untuk bersenang-senang. Asumsi bergulir, mungkin saja capres ndeso itu menjaga sikapnya supaya generasi muda ikut menjaga sikap. Salahkah?
Eleanor Roosevely pernah berkata, “Kepemimpinan bukanlah soal gelar, jabatan, ataupun posisi melainkan suatu kehidupan yang memengaruhi satu sama lain dalam cara yang baik dan positif.” Burukkah bila Jokowi memimpin dengan cara yang baik dan positif?
Pencitraan politik yang positif sesungguhnya baik karena akan membias sebagai suatu teladan. Toh, setiap orang berusaha menampilkan citra positif dalam dirinya karena kebutuhan. Itulah mengapa Jokowi seolah woles soal pencitraan. Baginya, itu hanya hiasan perjalanan hidupnya sebab ia telah menjadi dirinya sendiri dalam memimpin sejak tahun 2005 sebagai Walikota Surakarta, berlanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai ia dilantik Presiden RI oleh MPR di waktu mendatang.
Untuk meluruskan, Jokowi tidak sedang berpura-pura. Apa yang kelihatan padanya adalah apa adanya sebab ia sudah melalui banyak tantangan dan pengalaman yang membentuk kepribadiannya. “Itu semua karena saya pernah jadi korban gusuran,” katanya.
Menjadi korban gusuran adalah pengalaman pahit yang dimiliki segelintir orang. Tidak semua orang yang memiliki pengalaman pahit memilih untuk menghayatinya. Daun jambu, sepahit apapun ampuh menyembuhkan diare. Pengalaman sepahit apapun ampuh memaniskan kepribadian, jika seseorang menikmatinya.
Lantas, apakah jujur, tegas, dan merakyat merupakan anti-resiko tidak pernah mendapatkan hasil yang kamu harapkan sesuai kutipan Katherine? Garam, sedikit saja akan menyedapkan. Pembaruan, sedikit saja akan membanggakan. Bukankah persoalan Indonesia itu tidak terhingga dan penyebabnya tidak terhitung? Kenyataannya banyak rakyat yang tak dikenal dan pejabat yang tak dikawal adalah dilema awal. Duh, peliknya.
Bisa dibayangkan betapa rumitnya mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong jika hanya berdua, Presiden dan Wakil Presiden saja. Untuk mewujudkan kerjasama demi pembaruan Indonesia secara menyeluruh diperlukan strategi yang tentunya baru supaya efektif dan efisien karena deadline nan mengusik. Strategi yang baru adalah kerja nyata, bukan diplomasi saja. Seperti kata Jokowi, “Kerja akan menghasilkan sesuatu, tetapi omongan hanya menghasilkan alasan. Ya, Jokowi hendak mengungkap arti hidupnya melalui kalimat tersebut.
Jika dipikir sekejap saja soal kerja, pemahaman kita mungkin akan sampai pada tindakan tanpa tujuan. Salah. Sudah terlampau lama manusia Indonesia terlarut anget-anget tahi ayam dan tong kosong nyaring bunyinya. Sementara rakyat Indonesia sudah banyak tertipu dengan janji-janji yang belum tentu salah satunya ditepati. Alamak, menyesakkan dada.
Simak saja, dalam 24 jam kini waktu lebih banyak dihabiskan untuk berkeluh dan bercanda. Tilik saja kabar karya yang masih tersimpan rapi di ruang angan. Lihat saja pekerjaan rumah yang masih ditunda pengerjaannya. “Nanti saja”. Budaya menunda, seolah hari ini bukan kesempatan terakhir.
Tidak perlu menunda lagi, kesembilan agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA dalam Visi dan Misi Jokowi-JK yang tersebarluas saat kampanye harus dikerjakan. Kerja cepat adalah upaya yang harus ditempuh, bersama dengan orang-orang terbaik bangsa yang mau dan mampu menggerakkan rakyat Indonesia.
Sebagaimana Jokowi pernah bilang, “Jangan punya kepentingan”, saat ditanya Najwa, “Bagaimana memimpin dengan hati?”, kita sama-sama disadarkan bahwa kepentingan adalah hal khusus yang sering menghalangi usaha kita mengembalikan senyum Ibu Pertiwi. Kepentingan pribadi dalam pemerintahan yang ditemukan benar cenderung menjauhkan masing-masing pemegang amanah dari niat baik di awal. Sedangkan terlalu banyak yang belum selesai dan makin banyak yang akan harus diselesaikan.
Padahal, tahun 2015 adalah masa emas yang tidak seharusnya menjadi masa sulit. Komunitas ASEAN adalah pintu gerbang yang begitu menawan. Masakan Indonesia memasukinya dengan terlunta-lunta? Lebih baik tergopoh-gopoh dalam siaga. Gebrakan berasas demokrasi yang mengagumkan sudah dan sedang berjalan akibat sokongan relawan yang tergabung dalam Jokowi Center. Jokowi Center sudah menjadi duta pembangunan Indonesia.
Melalui Kabinet Alternatif Usulan Rakyat atau disingkat dengan KAUR, dengan memanfaatkan social media suara rakyat kembali didengarkan. Inilah inovasi demokrasi yang telah dinanti sejak lama, bukan?
Memang tidak semua rakyat bisa mengakses online form berisi pilihan calon menteri menurut voting yang kemudian diolah dan dijadikan referensi dalam pembentukan kabinet tanpa syarat ala Jokowi-JK. Akan tetapi, mereka yang bisa mengakses dan berkontribusi dalam voting dipastikan orang-orang yang cukup peka dan kritis akan demokrasi, selain tahu teknologi. Tidak perlu cemas.
Indonesia patut menaruh kepercayaan kepada Tim Transisi ala Jokowi-JK yang disinggung Kubu Prabowo sebagai tradisi baru. Kalau dipikir-pikir kenapa ya harus disebut tim? Filosofis. Andrew Carnegie pernah bilang, “Kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja bersama menuju visi bersama. Kemampuan untuk mengarahkan prestasi individu terhadap tujuan organisasi.”
Tampaknya Joko Widodo dan Jusuf Kalla begitu melibatkan kerja tim sejak awal kampanye. Proses adalah hal utama yang harus diperhatikan, seindah apapun tujuan. Rakyat masih menanti hasil kerja pilihannya dengan tangan terbuka atas resikonya.

Perempuan Penuh Siasat


Dalam kehidupan yang masih menganut budaya patriakhal yang mana kekuasaan ada pada laki-laki, tak melihat perempuan memiliki hak atas tubuhnya, perempuan masih sering ditempatkan sebagai manusia yang tak sederajat dengan laki-laki, bahkan tak mempunyai harga diri ataupun hak atas tubuhnya, apalagi kalau hal itu atas nama kepentingan umum.
Tubuh perempuan sebagai erotisme seksual yang dibentuk secara sosial sejak dulu hingga sekarang adalah objek yang sangat menarik. Sebagai objek sosial, tubuh perempuan sering dijadikan daya tarik untuk mengeruk keuntungan, khususnya secara material. Penggunaan erotisme tubuh perempuan dapat disaksikan dalam pagelaran seni budaya, misalnya dalam pagelaran ronggengan atau tayuban.
“Ronggeng itu bukan cuma perkara menari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur,” kata Nyai Kertareja.
Dukuh Paruk membesarkan Rasus dan Srintil. Ronggeng begitu diagungkan dengan kepercayaan magisnya sebagai warisan yang harus dilestarikan sekaligus menjadi persembahan kepada leluhur di kampung ini.
Terlahir sebagai ronggeng dengan kecantikan dan kemolekan, serta berperan dalam darma bakti anak cucu kepada leluhur membuat Srintil dipuja. Bagaimanapun juga, pandangan orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak terelakkan, Srintil dilihat sebagai seorang pengganggu rumah tangga dan merendahkan martabat perempuan.
“.... semua orang sekampung juga akan senang kalau ada ronggeng lagi,” kata Srintil ketika ditanya kepastian atas keputusan menjadi Srintil oleh Rasus.
Menjadi ronggeng juga artinya milik semua warga Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil memutuskan menjadi ronggeng, Rasus tak merelakan itu karena membuat Srintil seperti pohon kelapa dimana siapapun bisa memanjatnya.
Bagi Srintil, menjadi ronggeng adalah takdirnya karena dia merasa berhutang atas peristiwa 12 tahun lalu dimana tempe bongkrek yang dibuat orangtuanya meracuni ronggeng yang dulu ada. Panggilan jiwanya adalah menjadi ronggeng sebagai balasan atas “dosa” orangtuanya.
Menjadi ronggeng adalah pilihan hidup yang Srintil tentukan walaupun dengan keterpaksaan untuk berbakti kepada dukuhnya. Banyak hal kemudian harus dijalani sebelum dirinya benar-benar dinobatkan sebagai ronggeng, yakni dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala dan melalui ritus bukak klambu yang dilaksanakan pada malam Jumat Legi.
Di malam itu, terjadi pelelangan keperawanan, sejenis sayembara bagi setiap laki-laki yang mampu memberi sejumlah uang sebagai syaratnya. Sang pemenang yang menikmati tubuh Srintil tentunya memiliki kebanggaan tersendiri. Di sisi lain, Kertareja bersama istrinya yang bertindak sebagai dukun ronggeng sedang mereguk keuntungan atas penderitaan Srintil, yakni sumpah serapah dan cercaan.
Hanya ronggeng yang tahu siapa kepada siapa ia akan menyerahkan keperawanannya, inilah kekuatannya. Tak seorang pun tahu kalau saat ritual “bukak klambu” Srintil sudah tidak perawan. Itulah yang sering terjadi di masyarakat yang merasa paling tahu atas tubuh perempuan, padahal perempuan itu sendiri yang paling tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya.
“Kalau cuma masalah seks, buat saya itu hal sepele, yang terpenting adalah ronggeng tetap lestari bagi seni rakyat supaya harkat dan martabatnya tidak dibeli oleh masyarakat borjuis,” sebagaimana dikatakan Kang Bakar.
Sebagai ronggeng, Srintil telah melaksanakan tugas budaya yang diembannya juga sadar bahwa ia sedang menjadi duta keperempuan, dimana tidak melihat laki-laki menguasainya. Lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis sekalipun lelaki memiliki kekuatan yang bersifat fisik. Kebutuhan atas pengakuan kelelakian menjadikan perempuan hadir dengan kekuatannya.
Keperkasaan lelaki yang menjadi berarti ketika Srintil dengan kesadarannya bertanggungjawab menjadi media aktualisasi kelelakian merupakan gambaran bahwa lelaki itu kuat sekaligus lemah. Setiap lelaki memiliki hak untuk mencolek, menikmati goyangan dan pacak gulu Srintil dalam arena pentas saat menari. Maka, Srintil memiliki hak untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Realita ini membuatnya tidak pernah merasa menjadi pelacur kendati telah berpuluh-puluh lelaki tidur bersamanya.
“Perempuannya ronggeng, lelakinya kuli.”
Film garapan Ifa Isfansyah berjudul “Sang Penari” yang terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari menampilkan kisah cinta Rasus dan Srintil yang kuat, juga memberi sentuhan kepada penontonnya mulai dari cara pandang tradisional mengenai kehidupan ronggeng sampai kepada merasuknya kehidupan modern secara perlahan pada warga desa Dukuh Paruk.
Srintil adalah representasi perempuan yang mampu berbicara dalam posisi lokalitasnya, mensiasati apapun yang menimpa dirinya sebagai perempuan sekaligus ronggeng. Ia seorang perempuan yang lemah dan kuat di waktu yang sama sehingga sangat sulit untuk menjelaskan dan memastikan siapa yang dieksploitasi dan siapa pula yang mengeksploitasi.

***